Menag : Tokoh Agama Diizinkan untuk Kritis Selama Menjaga Independensi Agama
![]() |
sumber foto : antaranews.com |
aknews - Nasaruddin Umar, Menteri Agama Republik Indonesia, meminta tokoh agama yang kritis untuk berpartisipasi dalam kehidupan nasional dan internasional sambil mempertahankan independensi agama. Jika kita ingin agama menjadi bagian dari masyarakat, kita harus bertanggung jawab untuk menjadikannya bebas.
"Apa maksudnya agama independen? Agama yang mampu menjalankan fungsi kritisnya," ujar Menag kepada para tokoh lintas agama di Makassar, Jumat (11/1/2025).
Dia mengatakan, jangan takut, bapak-ibu, agama apa pun itu, berikanlah fungsi kritisnya terhadap negara. Negara pun harus mendengarkan kritik dan masukan dari tokoh agama.
Pada acara yang diadakan di Asrama Haji Makassar, dia menyatakan bahwa negara ini bukan negara Hegel di mana negara diprioritaskan atas segalanya.
Menag menekankan bahwa hubungan antara agama dan negara harus harmonis tetapi tetap seimbang. Menurutnya, agama yang terlalu bergantung pada negara akan kehilangan kemampuan untuk memberikan kritik yang konstruktif.
"Ketika agama dan pemimpinnya terlalu bergantung pada pembiayaan negara, maka akan kehilangan independensi. Bagaimana agama bisa kritis jika ketergantungannya sepenuhnya kepada negara?" ucapnya.
Selain itu, Menag mengingatkan bahwa pemimpin agama tidak boleh tunduk pada negara. Pemimpin agama dan pemerintah harus menghormati satu sama lain. Bukan pemerintah yang memberi fatwa dalam hal ini, tetapi ulama. Agama bukanlah domain pemerintah, pemerintah hanya perlu membantu umat beragama, bukan mendominasi mereka.
Menag juga mengingatkan bahaya penggunaan agama sebagai alat legitimasi politik. Ia berpendapat bahwa agama yang digunakan untuk mendukung kepentingan politik tertentu akan kehilangan otoritasnya di masyarakat. Dia menyatakan bahwa orang akan mulai meninggalkan agama ketika agama tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat, terutama generasi muda.
Fenomena ini sudah terjadi di negara-negara Barat. Mereka tidak tertarik untuk beragama, meskipun mereka percaya kepada Tuhan. Ini disebabkan oleh fakta bahwa agama seringkali digunakan sebagai alat legitimasi politik, sehingga kehilangan otoritas dan kekuatan pencerahannya.
Menag menyampaikan, "Saya tidak takut untuk menyampaikan prinsip ini karena sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Saya juga yakin apa yang saya sampaikan ini sejalan dengan harapan Presiden Prabowo yang sangat menghargai ulama dan tokoh agama."
Menag juga menyatakan, “Kita tidak ingin agama maupun negara menjadi lemah. Keduanya harus sama-sama kuat, itulah Indonesia,” kata Menag.